Tuesday, December 21, 2010

Investasi Uang Kuno Boleh Dipertimbangkan

Oleh : Eva Martha Rahayu
Dunia numismatika tidak hanya memberikan keasyikan tersendiri bagi kolektornya, tapi juga menjanjikan potensi capital gain yang wah. Inilah pengalaman sejumlah investor uang kuno yang sukses.
Siapa bilang uang kuno untuk koleksi semata. Bahkan, mungkin masih ada pandangan yang lebih ekstrem: uang kuno tidak berguna. Entah disengaja atau tidak, sikap apriori terhadap uang kuno itu berdampak pada kurangnya penghargaan terhadap nilai historis dan daya jual uang antik tersebut. Alhasil, beberapa orang menggunakan uang kuno hanya untuk pengganti roda mainan anak yang rusak, alat kerik badan yang masuk angin, serta dimasukkan album atau celengan yang tidak pernah dibuka untuk pencairan. Padahal, kalau kita jeli, uang kuno bisa mendatangkan rezeki nomplok.
Besarnya potensi uang kuno bak magnet yang menyedot beberapa orang terjun ke dunia uang kuno (numismatika). Setidaknya ada empat kategori profil orang yang bersentuhan dengan bidang numismatika. Pertama, pedagang yang menjadikan uang kuno sebagai komoditas. Kedua, investor yang memburu capital gain dari modal yang ditanamkan. Ketiga, kolektor yang sekadar menikmati prestise uang kuno. Keempat, orang iseng yang menggunakan uang kuno sebagai pelengkap mahar pernikahan atau ikatan emosional kedaerahan. Contohnya, orang Batak suka menyimpan uang bergambar pahlawan Sisingamangaraja.
Latar belakang orang tertarik pada uang kuno beragam. Sofwan, Direktur Keuangan Patra Jasa, misalnya, tertarik membeli uang kuno lantaran dipicu rasa bingung mencari wahana investasi baru. Dan saat jalan-jalan di Pasar Baru, Jakarta, ia menjumpai sejumlah orang yang melakukan transaksi uang kuno, sehingga ia terinspirasi menjadikannya sebagai instrumen investasi. “Awalnya sih tidak tahu dunia numismatika, tapi lama-kelamaan menarik juga,” tuturnya.
Lain lagi dengan pengalaman Wisnu Baskoro yang sudah berpengalaman dengan uang kuno sejak kecil. “Waktu itu saya diberi oleh-oleh uang kuno oleh saudara yang pulang dari AS (Amerika Serikat),” ujar pria yang bergumul dengan bidang numismatika lebih dari 30 tahun itu. Sementara Jaka Tianto melirik uang kuno pada 1995 setelah diajak temannya. Adapun Fahmi Syaiful menggeluti benda kolektibel ini pada 1990, bertepatan dengan saat ia lulus kuliah. “Ternyata, investasi uang kuno bisa dijadikan mata pencarian sehingga tidak perlu pusing cari kerjaan. Buktinya, saya bisa menghidupi 6 anak dan menunaikan haji dari jerih payah investasi di uang kuno,” ujar Fahmi yang rajin melakukan jual-beli uang kuno setamat kuliah Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta.
Jenis uang kuno Indonesia yang beredar dibedakan menjadi lima. Pertama, masa VOC dengan jumlah seri 7 macam. Misalnya, uang Ambonia 1805, uang kertas Probolinggo 1810, Rijksdaalders 1800. Kedua, masa penjajahan Belanda, dikeluarkan sekitar 15 seri. Contohnya, seri Kreasi, Recivis, JP Coen, Nica, Wayang dan Uang Kertas Tembaga 1832. Ketiga, masa penjajahan Jepang, terdiri dari beberapa seri. Sebut saja, Japansche Regeering (mulai pecahan 1 sen hingga Rp 10) dan Dai Nippon (dari pecahan Rp 0,5 sampai Rp 10). Keempat, masa uang Republik yang diterbitkan pascakemerdekaan hingga sekarang. Masa pascakemerdekaan RI memiliki seri mata uang paling banyak karena hampir saban tahun dikeluarkan seri baru. Umpamanya, uang ORI yang dicetak tahun 1945, lalu RIS tahun 1950, seri Pemandangan Alam 1 tahun 1951, seri Kebudayaan 1952, seri Pemandangan Alam 2 tahun 1953, seri Suku Bangsa 1 tahun 1954, seri Binatang tahun 1957, plus seri Soekarno tahun 1960. Di zaman setelah kemerdekaan, juga dikenal uang daerah yang diterbitkan dan berlaku khusus di daerah tertentu, misalnya uang Bodjonegoro tahun 1948, uang Jogjakarta tahun 1948 serta uang Aceh tahun 1947.
Dari sisi bahan, uang kuno dibedakan menjadi dua macam: koin dan kertas. Mayoritas orang Indonesia menyukai jenis kertas karena lebih praktis dan likuid. Kelemahan uang kertas: gampang dipalsu. Nah, untuk mendeteksinya bisa dilihat dari ciri khas: tanda air, benang pengaman dan kualitas cetakan kertasnya. Namun, bukan berarti koin bebas risiko. Buktinya, Fahmi pernah merugi Rp 2,5 juta karena uang kunonya berbentuk koin diragukan keasliannya. Bahan uang koin umumnya emas, perunggu, perak, besi, tembaga, logam dan timah.
Tinggi-rendahnya nilai uang kuno dipengaruhi beberapa faktor. ”Seperti tingkat kelangkaan barang, kondisi fisik dan munculnya kolektor baru yang memburu seri mata uang tertentu,” kata Jaka, pemilik gerai Classic Coin yang bergerak dalam jual-beli mata uang kuno di Depok Town Square. Jadi, belum tentu uang kuno yang umurnya lebih tua pasti laku lebih mahal. Kondisi fisik yang rusak, lusuh atau cacat akan mengurangi nilainya. Itulah sebabnya, banyak orang yang terpincut memburu uang kuno jenis UNC (uncirculation) yang peredarannya bersifat bank to bank. Lantaran tidak beredar di masyarakat, kondisi uang kuno UNC lebih bagus. “Kalau kondisi fisiknya jelek, harga uang kuno tinggal seperlimanya dari harga di pasaran,” Sofwan menimpali.
Ia menambahkan, karakter investasi uang kuno mirip perpaduan main saham dan properti. “Barangnya mesti dihabiskan di pasar agar kita bisa mengatrol harga atau memonopoli,” kata pria 54 tahun ini. Untuk itu, bermain uang kuno pun perlu trik tertentu, “Perhatikan bagaimana tingkat ketertarikan masyarakat terhadap mata uang itu. Jika banyak peminatnya, berarti potensi harganya bagus. Lalu bagaimana motif gambarnya, apakah punya nilai sejarah yang tinggi dan langka,” ujarnya. Jangan lupa, Sofwan menambahkan, cermati siapa penerbit uang kuno itu. Menurutnya, beberapa percetakan luar negeri sempat mencetak mata uang RI sehingga kualitasnya internasional dan harganya tinggi, misalnya Thomas Bellaru dari Inggris mencetak uang Republik tahun 1951, American Bank Note tahun 1943 dan percetakan dari Belanda.
Sofwan mengawali investasi uang kuno jenis kertas 1,5 tahun lalu. Baginya, investasi uang kuno cocok bagi pensiunan karena risikonya lebih bisa diminimalisasi ketimbang saham. Tujuan investasinya adalah mendiversifikasi risiko, karena ia juga mengisi keranjang investasinya dengan saham, tabungan dan properti. “Kelebihan investasi di uang kuno itu bisa dicairkan secara bertahap sesuai kebutuhan kita,” kata Sofwan yang setahun lagi pensiun. Maksudnya, jika saat ini ia membeli mata uang kuno dalam jumlah besar, di kemudian hari akan dilepas sedikit demi sedikit disesuaikan dengan jumlah dana yang dibutuhkan sembari menunggu harganya naik.
Mendapatkan pasokan atau menjual kembali uang kuno tidaklah sesulit yang dibayangkan. Investor harus aktif di berbagai kegiatan numismatika, seperti lelang, pameran atau pertemuan. “Untuk berburu pasokan, biasanya saya jalan-jalan ke luar negeri atau luar kota. Sedangkan untuk menjualnya, ke teman, komunitas numismatika atau Internet,” kata Wisnu. Fahmi seia sekata dengan Wisnu. ”Selama ini uang kuno saya dijual juga via Internet ke AS, Kanada, Belanda, India dan Eropa,” katanya
Berapa besar potensi return-nya? Sofwan yang menghabiskan ratusan juta rupiah untuk investasi di uang kuno atau 20%-30% dari total portofolionya memastikan imbal hasilnya lumayan. Untuk investasi jangka pendek (hitungan bulan) ditaksir 5%-20%, sedangkan investasi jangka panjang (di atas setahun) bisa lebih dari 100%. Tidak percaya? Ia punya pengalaman menyimpan uang Republik tahun 1959 bergambar bunga dan burung. Jumlah uang kuno itu sebanyak 1.000 pak (100 ribu lembar) yang dibelinya seharga Rp 200 jutaan. Hebatnya, tahun 2006 ini ada yang berani menawar Rp 1 miliar. “Tapi, tidak saya lepas,” ujar eksekutif yang mengalihkan 25% jatah main sahamnya ke uang kuno itu. Mengapa? Ternyata, Sofwan hanya bermaksud menjual lagi uang kunonya secara bertahap. Sebab, ia percaya investasi uang kuno bisa dijadikan tabungan sekaligus warisan.
Jaka pun mengamini besarnya keuntungan dari investasi uang kuno, khususnya uang Republik seri Binatang tahun 1957 dan Bunga tahun 1959. “Potensi untungnya 15%-200%, tergantung serinya,” katanya. Ia menjelaskan, tahun 2000 sempat menjual seri Binatang pecahan Rp 10 bergambar menjangan dan Rp 25 bermotif badak seharga Rp 7,5 juta. Namun, tahun 2002 harga pasarnya sudah melejit menjadi Rp 16 juta. Mengapa mahal? Rupanya, seri Binatang itu langka karena cuma beredar tiga hari akibat adanya pemberontakan Pemerintahan Revolusioner RI kala itu. Pengalamannya menggenggam uang seri Bunga tahun 1959 pun sama. “Untuk pecahan Rp 500, tahun 2004 harganya masih Rp 800 ribu dan kini harga pasarnya Rp 1,7 juta. Sementara, pecahan Rp 1.000, pada 2005 harganya Rp 150 ribu, sekarang mencapai Rp 400 ribu.”
Lebih heboh lagi, Jaka melanjutkan, harga uang kuno tatkala lelang. Misalnya, hasil Java Auction yang berskala internasional dan digelar 5 Agustus 2006 menyebutkan, satu seri lengkap uang Republik seri Wayang (8 lembar) tahun 2003 harganya Rp 30 juta, tapi pada 2006 terjual Rp 65 juta. Lonjakan harga yang spektakuler juga terjadi pada jenis koin keluaran zaman Belanda seri Indonesia-Sumatera tahun 1787 (terdiri dari tiga koin emas) dipatok seharga Rp 225 juta.
Keuntungan yang dramatis pun direguk Fahmi. “Beberapa waktu lalu saya beli koin Belanda seri tahun 1800 seharga Rp 1 juta, dalam waktu sebulan sudah laku US$ 1.000,” ujar Fahmi yang mengaku frekuensi transaksinya sebulan rata-rata 4-5 kali. Agar untung tidak tipis, menurutnya, beli uang kuno dari orang awam, bukan dari pedagang.
Bagaimana ancaman risikonya? “Nyaris tidak ada,” kata Sofwan. Yang paling dikhawatirkan, menurutnya, jika simpanan uang kuno itu jumlahnya sangat besar, karena keamanannya terganggu. Toh, masalah itu bisa diantisipasi dengan menitipkan ke safe deposit box di bank. Bahkan, ia pun tidak khawatir soal pemalsuan karena justru dianggapnya sebagai “biaya sekolah”. “Kalau saya dapat uang palsu, malah akan saya pelajari teknologi pemalsuannya untuk pembanding,” katanya dengan santai.
Bagi Wisnu, risiko investasi uang kuno ditentukan sejauh mana pengetahuan seseorang tentang ilmu numismatika. “Kalau knowledge numismatikanya bagus, nggak bakalan kejeblos,” kata pengusaha restoran Kintamani dan sekolah perhotelan itu. Dengan bekal itulah, ia berani membenamkan duitnya miliaran rupiah di uang kuno. Ia sengaja memilih mayoritas koin uang perkebunan dan kerajaan. Koleksinya cukup lengkap, mulai uang kuno zaman sebelum Masehi, Majapahit, Borobudur, Belanda hingga era sekarang.
Saran Jaka memperkuat opini Wisnu. “Strategi investasi uang kuno yang menguntungkan: banyak meng-update bekal ilmu numismatika, beli uang kuno sebanyak-banyaknya selagi harga murah karena siapa tahu beberapa tahun kemudian harganya berlipat ganda,” ungkapnya. Ia pun optimistis terhadap prospek investasi uang kuno. Alasannya: uang kuno memiliki komunitas khusus, sudah terbentuk pasokan & permintaan, dunianya atraktif serta terorganisasi sejak 1995.
(swa)

No comments:

Post a Comment